SpongeBob SquarePants

Selasa, 10 Mei 2016

Tangis dan Do’aku untuk Bunda




Siang ini tak seterik biasanya, sang surya mungkin masih tertidur di balik lindungan rembulan yang kemerahan. Hari ini usia Ais genap 19 tahun, Ais seorang gadis remaja yang sangat tangguh, pantang menyerah, remaja cantik yang kemarin waktu lulusan SMA mendapat nilai  UN tertinggi se-kabupaten, seorang gadis remaja yang selalu tampil dengan senyumnya yang menebar kebahagian kesetiap orang, gadis penjaga warung nasi uduk tiap hari jumat dan Ais seorang remaja yang pernah mengenyam bangku kuliah satu semester di salah satu universitas ternama di Indonesia, jurusan Fisika.
Seperti biasa, meskipun hari ini hari ulang tahunnya, tak ada yang istimewa untuknya, tak ada kejutan kado, tak ada kecupan selamat dari  kedua orang tuanya, dan tak ada kue tart yang terpajang rapi di meja rumah kecilnya. Tidak ada yang baru…! Hanya beberapa ucapan selamat dari teman-temannya yang masih peduli dengan keadaannya.
Ibu Ais sudah dua tahun terbaring lemah di amben kayunya yang sudah mulai terkikis rayap-rayap jail,  beliau terserang kanker ganas payudara, yang kini akarnya telah menyebar ke sumsum tulang belakang dan tumbuh benjolan baru di ketiak dan tenggorokannya, yang membuat beliau semakin susah untuk menelan makanan. Sedangkan ayahnya seorang paruh baya yang Tuna Rungu dan bekerja sebagai buruh ternak sapi milik tetangganya. Setiap hari Ais tak seperti teman-teman sebaya lainnya, yang tiap pagi bisa langsung sarapan dan bermain, ia harus bangun lebih awal untuk mengeluarkan sapi-sapi milik tetangganya itu dari kandang, memasak untuk orang tuanya, mencuci dan dia harus menyeka tubuh ibunda tercintanya. Semua itu ia lakukan dengan pasrah dan sabar. Tak henti-hentinya ia memohon kepada Allah agar ibunya lekas sembuh dari penyakit yang dideritanyayang telah divonis oleh dokter tidak bisa sembuh.
“ Gubrak… Akhh…” terdengar dengan begitu lirih namun cukup jelas jeritan ibunya yang kesakitan. Ais yang saat itu tengah mencuci baju di depan rumah sontak menghampiri ibunya yang mencoba merangkak mencari tiang untuk bersandar. “ Ibu kenapa bu? Ibu mau kemana ? kan bisa panggil Ais, Bu…”  isak Ais sambil membangunkan lantas menggendong ibunya ke tempat tidur lagi. Maklum karena penyakit yag terus menggerogoti tubuh ibunya, kini berat badan ibunya tinggal 35kg, jauh dari dulu ketika masih sehat yang hampir 45kg-an. “ kamu istirahat saja, Nak. Itu tugas ibu..kamu sudah terlalu lelah merawat ibu”. Air mata ibunya mulai menganak sungai sambil membelai rambut putrinya yang mulai lusuh akibat tak pernah dirawat. “ Ibu, Ais gak lelah kok Bu, Ais senang merawat Ibu, ibu gak usah nangis ya, Ais sayang ibu, selama nafas Ais masih tersisa, Ais akan terus menjaga dan merawat ibu”. Ais menatap ibunya, mengusap air matanya yang begitu bening di balik cekungan matanya. Tergurat rasa sedih yang luar biasa dalam mata gadis remaja itu, ingin dia menangis, ingin dia berteriak sekuat mungkin, namun dia tak mau membuat ibunya sedih karena air matanya.
Petang telah tiba, segerombolan burung telah kembali ke sarang, mega merah pun mulai nampak. Sapi telah ia kandangkan, jemuran telah ia angkat dan lipat dengan rapi. Kini waktunya dia menunaikan tugasnya untuk menyeka badan ibunya. Secarik kain biru muda yang setia menemani Ais untuk mengelap seluruh tubuh ibunya dengan sabar dan penuh hati-hati. Menggati pakaiannya, menyisir rambutnya hingga menyuapi beliau untuk makan. Secentong nasi dengan sepotong tahu menjadi menu sore ini. “ Ibu makan yang banyak ya, biar cepet sembuh, biar sehat”. sesuap demi sesuap nasi meskipun sangat sedikit yang masuk dalam mulut ibunya, ia sangat senang, setdaknya ibunya punya tenaga untuk menggerakkan tangan keriputnya atau sekedar punya tenaga untuk memanggil putrinya.
Malam ini cuaca serasa bersahabat dengan kondisi Ais yang cukup lelah. Angin  malam yang cukup semilir sesekali memainkan rambut ikal dan tirai jendela kamarnya. Seusai salat isya’ dan menyelimuti ibunya, ia sudah terlelap, terbenam dalam buaian bantal merah tuanya yang mulai kusut dan sobek ujungnya. Tanpa alasan, ia sengaja tidur lebih awal agar naantinya bisa bangun untuk berdoa kepada Allah. Hal seperti itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Terkadang sesekali ibunya yang mendengar lirihan doa-doa putrinya, hanya bisa mengamini setiap doa yang keluar dari mulut anaknya.
Tepat pukul 03:05 dini hari Ais bangun di tengah malamnya. Dengan sigap ia bangun dan menuju kamar mandinya untuk mengambil wudhu. Ibunya terbangun namun beliau tetap pura-pura terlelap. Mukena putih berenda hijau telah membalut tubuh gadis cantik berkulit eksotis itu. Sesekali ia mengatur nafasnya, menata niatnya sebelum bertakbir. Sekali lagi ia melirik ibunya memasang senyum manis dan akhirnya ia memulai salat malamnya.
Satu demi satu gerakan salat ia kerjakan dengan khusu’ dan tenang. Menandakan betapa ia berpasrah diri dengan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Dua raka’at telah usai. Sekali lagi ia menatap ibunya lantas mencium kening dan mengusap peluhnya. Beberapa bacaan tasbih ia panjatkan, beberapa doa berbahasa arab tak lupa ia ucapkan. Tak terasa air matanya mulai membasahi pipi dan mukenanya, sesekali isak pun mulai terdengar dari bibir mungilnya.
Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba memohon ampun atas segala dosa-dosa hamba, kedua orang tua hamba dan seluruh orang yang menyayangi hamba.
Ya Allah, Ya Syifa, hanya kepada-Mu hamba tidak lelah meminta obat untuk kesembuhan ibu hamba, berikanlah kesembuhan untuk beliau Ya Allah, hamba tau Engkau Maha Penyembuh dari segala macam penyakit, hamba mohon Ya Allah…hamba sangat menyayangi beliau Ya Allah, kembalikan senyumnya, kembalikan badannya yang sehat dan kembalikan semangat hidupnya Ya Allah.
Hamba tidak minta apa-apa, hamba hanya memohon kesembuhannya.jika hamba boleh memilih, biarkan hamba yang merasakan sakit yang beliau rasakan, hamba tidak tega Ya Allah melihat rintihan kesakitannya. Hamba mohon Ya Allah…robbanaa aatina fiddunya hasanah,wafil akhiroti hasanah,waqina ‘adzaa bannar”.
Air mataku masih berlinang dengan deras, tak lupa ku bersujud tanda syukur atas semua yang telah aku miliki. Sesekali aku menghapus air mataku sambil melipat mukena di tengah keheningan sepertiga malam. Namun tak lama kemudian, “ Ais sayang…?” suara ibu memecah kesenduanku, segera kuusap sisa-sisa air mataku lantas menjawab “ iya bu, Ibu kenapa bangun ? ibu kedinginan ? atau ibu mau buang air kecil ?”. ibu tak lantas menjawab, dengan sekuat tenaga beliau memelukku, “ Sayang, maafkan ibu yang selalu merepotkanmu, maafkan ibu yang tak bisa nemanin kamu, ibu sayang Ais, Cuma Ais yang ibu punya, terima kasih sayang, kamu selalu mendoakan kesembuhan ibu, kamu anak yang baik dan patuh,hapuslah air matamu,Nak. Ibu gak mau lihat putri ibu selalu menangis tiap malam” ujar ibu dengan air matanya yang membanjiri jarit kumalnya. Aku tak sanggup lagi berkata-kata untuk menguatkan ibu bahwa aku tidak apa-apa, namun apalah Ais, seorang gadis remaja yang berhati tegar namun juga bisa menangis. “ Ibu, Ibu gak usah minta maaf sama Ais, ini sudah jadi tugas Ais buat jagain ibu, merawat ibu dan doain ibu” dengan senyum kekuatan aku menatap ibu dengan lembut sembari mengusap air matanya. “ besok kita periksa lagi ya bu, tabungan Ais Insyaallah cukup buat periksa dan beli obat ibu, ditambah uang dari upah ayah kerja. Kita gak boleh pasrah ya bu, ibu harus kuat dan harus sembuh” Kataku menguatkan ibu, dan akhirnya ibu menyetujui untuk periksa ke puskesmas terdekat.

Hai salam kenal, perkenalkan nama saya Afifah. Dan saya mempunyai nama pena yaitu Aifa. Jika kalian ingin berkenalan lebih jauh dengan saya bisa lewat akun facebook saya Afifah, atau alamat email saya sitia7932@gmail.com. Atau mungkin kalian pengen yang lebih personal dengan saya bisa menghubungi saya di 085749640171. Terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar