Siang ini tak seterik biasanya, sang surya mungkin masih tertidur di balik
lindungan rembulan yang kemerahan. Hari ini usia Ais genap 19 tahun, Ais
seorang gadis remaja yang sangat tangguh, pantang menyerah, remaja cantik yang
kemarin waktu lulusan SMA mendapat nilai
UN tertinggi se-kabupaten, seorang gadis remaja yang selalu tampil
dengan senyumnya yang menebar kebahagian kesetiap orang, gadis penjaga warung
nasi uduk tiap hari jum’at dan Ais seorang remaja
yang pernah mengenyam bangku kuliah satu semester di salah satu universitas
ternama di Indonesia, jurusan Fisika.
Seperti biasa, meskipun hari ini hari ulang tahunnya, tak ada yang istimewa
untuknya, tak ada kejutan kado, tak ada kecupan selamat dari kedua orang tuanya, dan tak
ada kue tart yang terpajang rapi di meja rumah kecilnya. Tidak ada yang baru…!
Hanya beberapa ucapan selamat dari teman-temannya yang masih peduli dengan
keadaannya.
Ibu Ais sudah dua tahun terbaring lemah di amben kayunya yang sudah mulai
terkikis rayap-rayap jail, beliau
terserang kanker ganas payudara, yang kini akarnya telah menyebar ke sumsum
tulang belakang dan tumbuh benjolan baru di ketiak dan
tenggorokannya, yang membuat beliau semakin susah untuk menelan makanan.
Sedangkan ayahnya seorang paruh baya yang Tuna Rungu dan bekerja sebagai buruh
ternak sapi milik tetangganya. Setiap hari Ais tak seperti teman-teman sebaya
lainnya, yang tiap pagi bisa langsung sarapan dan bermain, ia
harus bangun lebih awal untuk mengeluarkan sapi-sapi milik tetangganya itu dari
kandang, memasak untuk orang tuanya, mencuci dan dia harus menyeka
tubuh ibunda tercintanya. Semua itu ia lakukan dengan pasrah dan sabar. Tak
henti-hentinya ia memohon kepada Allah agar ibunya
lekas sembuh dari penyakit
yang dideritanyayang telah divonis
oleh dokter tidak bisa sembuh.
“ Gubrak… Akhh…” terdengar dengan begitu lirih namun cukup jelas jeritan
ibunya yang kesakitan. Ais yang saat itu tengah mencuci baju di depan rumah
sontak menghampiri ibunya yang mencoba merangkak mencari tiang untuk bersandar.
“ Ibu kenapa bu? Ibu mau kemana ? kan bisa panggil Ais, Bu…” isak Ais sambil membangunkan lantas
menggendong ibunya ke tempat tidur lagi. Maklum karena penyakit yag terus
menggerogoti tubuh ibunya, kini berat badan ibunya tinggal 35kg, jauh dari dulu
ketika masih sehat yang hampir 45kg-an. “ kamu istirahat saja, Nak. Itu tugas
ibu..kamu sudah terlalu lelah merawat ibu”. Air mata ibunya mulai menganak
sungai sambil membelai rambut putrinya yang mulai lusuh akibat tak pernah dirawat.
“ Ibu, Ais gak lelah kok Bu, Ais senang merawat Ibu, ibu gak usah nangis ya,
Ais sayang ibu, selama nafas Ais masih tersisa, Ais akan terus menjaga dan
merawat ibu”. Ais menatap ibunya, mengusap air matanya yang begitu bening di
balik cekungan matanya. Tergurat rasa sedih yang luar biasa dalam mata gadis
remaja itu, ingin dia menangis, ingin dia berteriak sekuat mungkin, namun dia
tak mau membuat ibunya sedih karena air matanya.
Petang telah tiba, segerombolan burung telah kembali ke sarang, mega merah
pun mulai nampak. Sapi telah ia kandangkan, jemuran telah ia angkat dan lipat
dengan rapi. Kini waktunya dia menunaikan tugasnya untuk menyeka
badan ibunya. Secarik kain biru muda yang setia menemani Ais untuk mengelap
seluruh tubuh ibunya dengan sabar dan penuh hati-hati. Menggati pakaiannya,
menyisir rambutnya hingga menyuapi beliau untuk makan. Secentong nasi dengan
sepotong tahu menjadi menu sore ini. “ Ibu makan yang banyak ya, biar cepet
sembuh, biar sehat”. sesuap demi sesuap nasi meskipun sangat sedikit yang masuk
dalam mulut ibunya, ia sangat senang, setdaknya ibunya punya tenaga untuk
menggerakkan tangan keriputnya atau sekedar punya tenaga untuk memanggil
putrinya.
Malam ini cuaca serasa bersahabat dengan kondisi Ais yang cukup lelah.
Angin malam yang cukup semilir sesekali
memainkan rambut ikal dan tirai jendela kamarnya. Seusai salat isya’ dan
menyelimuti ibunya, ia sudah terlelap, terbenam dalam buaian bantal merah
tuanya yang mulai kusut dan sobek ujungnya. Tanpa alasan, ia sengaja tidur
lebih awal agar naantinya bisa bangun untuk berdoa kepada Allah. Hal seperti
itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Terkadang sesekali ibunya yang
mendengar lirihan doa-doa putrinya, hanya bisa mengamini setiap doa yang keluar
dari mulut anaknya.
Tepat pukul 03:05 dini hari Ais bangun di tengah malamnya. Dengan sigap ia
bangun dan menuju kamar mandinya untuk mengambil wudhu. Ibunya terbangun namun
beliau tetap pura-pura terlelap. Mukena putih berenda hijau telah membalut
tubuh gadis cantik berkulit eksotis itu. Sesekali ia mengatur nafasnya, menata
niatnya sebelum bertakbir. Sekali lagi ia melirik ibunya memasang senyum manis
dan akhirnya ia memulai salat malamnya.
Satu demi satu gerakan salat ia kerjakan dengan khusu’ dan tenang. Menandakan
betapa ia berpasrah diri dengan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Dua raka’at
telah usai. Sekali lagi ia menatap ibunya lantas mencium kening dan mengusap
peluhnya. Beberapa bacaan tasbih ia panjatkan, beberapa doa berbahasa arab tak
lupa ia ucapkan. Tak terasa air matanya mulai membasahi pipi dan mukenanya,
sesekali isak pun mulai terdengar dari bibir mungilnya.
“ Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba
memohon ampun atas segala dosa-dosa hamba, kedua orang tua hamba dan seluruh
orang yang menyayangi hamba.
Ya Allah, Ya Syifa, hanya
kepada-Mu hamba tidak lelah meminta obat untuk kesembuhan ibu hamba, berikanlah
kesembuhan untuk beliau Ya Allah, hamba tau Engkau Maha Penyembuh dari segala
macam penyakit, hamba mohon Ya Allah…hamba sangat menyayangi beliau Ya Allah,
kembalikan senyumnya, kembalikan badannya yang sehat dan kembalikan semangat
hidupnya Ya Allah.
Hamba tidak minta apa-apa,
hamba hanya memohon kesembuhannya.jika hamba boleh
memilih, biarkan hamba yang merasakan sakit yang beliau rasakan, hamba tidak
tega Ya Allah melihat rintihan kesakitannya. Hamba mohon Ya Allah…robbanaa
aatina fiddunya hasanah,wafil akhiroti hasanah,waqina ‘adzaa bannar”.
Air mataku masih berlinang dengan deras, tak lupa ku bersujud tanda syukur
atas semua yang telah aku miliki. Sesekali aku menghapus
air mataku sambil melipat mukena di tengah keheningan sepertiga malam. Namun
tak lama kemudian, “ Ais sayang…?” suara ibu memecah kesenduanku, segera kuusap
sisa-sisa air mataku lantas menjawab “ iya bu, Ibu kenapa bangun ? ibu
kedinginan ? atau ibu mau buang air kecil ?”. ibu tak lantas menjawab, dengan
sekuat tenaga beliau memelukku, “ Sayang, maafkan ibu yang selalu merepotkanmu, maafkan ibu yang tak bisa nemanin
kamu, ibu sayang Ais, Cuma Ais yang ibu punya, terima kasih
sayang, kamu selalu mendoakan kesembuhan ibu, kamu anak yang baik dan
patuh,hapuslah air matamu,Nak. Ibu gak mau lihat putri ibu selalu menangis tiap
malam” ujar ibu dengan air matanya yang membanjiri jarit kumalnya. Aku
tak sanggup lagi berkata-kata untuk menguatkan ibu bahwa aku tidak apa-apa,
namun apalah Ais, seorang gadis remaja yang berhati tegar namun juga bisa
menangis. “ Ibu, Ibu gak usah minta maaf sama Ais, ini sudah jadi tugas Ais
buat jagain ibu, merawat ibu dan doain ibu” dengan senyum kekuatan aku
menatap ibu dengan lembut sembari mengusap air matanya. “ besok kita periksa
lagi ya bu, tabungan Ais Insyaallah cukup buat periksa dan beli obat ibu,
ditambah uang dari upah ayah kerja. Kita gak boleh pasrah ya bu, ibu harus kuat
dan harus sembuh” Kataku menguatkan ibu, dan akhirnya ibu menyetujui untuk
periksa ke puskesmas terdekat.
Hai salam kenal, perkenalkan nama saya Afifah. Dan
saya mempunyai nama pena yaitu Aifa. Jika kalian ingin berkenalan lebih jauh
dengan saya bisa lewat akun facebook saya Afifah, atau alamat email saya sitia7932@gmail.com. Atau mungkin kalian pengen yang lebih personal
dengan saya bisa menghubungi saya di 085749640171. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar