SpongeBob SquarePants

Selasa, 31 Mei 2016

ADAT PERKAWINAN ETNIS TIONGHOA SEBAGAI CERMINAN KETAHANAN BUDAYA BANGSA







ADAT PERKAWINAN ETNIS TIONGHOA SEBAGAI CERMINAN KETAHANAN BUDAYA BANGSA

Guna Memenuhi Tugas Tengah Semester Matakuliah Pendidikan Kewarnegaraan

Dosen Pengampu:
Natal Kristiono, S.Pd, M.H




Disusun Oleh:
Siti Nur Afifah (1201415053)



UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut undang-undang pasal 1 Nomor 1 tahun 1974 pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (2002:8). Sedangkan di pasal 2 tertulis bahwa pernikahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Indonesia yang merupakan Negara kultural yang memiliki beberapa pemeluk agama yang berbeda-beda tentunya juga memiliki adat pernikahan yang berbeda-beda pula di setiap pemeluk agama. Sama halnya penduduk Tionghoa yang memiliki adat dan cara-cara pernikahan sendiri yang menjadi ciri khas dan tanda sahnya pernikahan tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk keragaman budaya bangsa Indonesia dalam bentuk cerminan ketahanan budaya baangsa sendiri yang jarang dimiliki oleh Negara lain.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pernikahan etnis Tionghoa dalam pengertian kosmologi dinamakan dengan peristiwa merah yang bermakna dinamis. Dan dalam kosmologi ini terdapat lima unsur dan arah, dimana dalam hal ini merah itu adalah selatan yang memiliki makna kebahagiaan. Jadi tidak heran jika dalam banyak hal yang terkait dengan kebahagiaan termasuk pernikahan, orang Tionghoa menggunakan warna merah. Dengan adanya beberapa ciri khas dalam adat pernikahan Tionghoa, terutama mereka yang menetap di Indonesia menjadi salah satu wujud tersendiri yang menjadi cerminan keragaman budaya bangsa yang perlu dilestarikan dan dijaga.




B.     Masalah Penelitian
Dewasa ini adat pernikahan Tionghoa yang masih kental dengan ciri khas dan keunikan dari leluhurnya sedikit demi sedikit sudah mulai tergerus dan tergantikan oleh adat pernikahan budaya barat, baik mulai dari gaun pengantin atau yang lain. Meski tidak secara sepenuhnya adat pernikahan Tionghoa terganti, namun di Indonesia adat pernikahan yang masih kental dengan tata cara leluhur Tionghoa sudah mulai sulit dijumpai dan ditemukan di Indonesia. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimanakah prosesi atau adat pernikahan penduduk Tionghoa ?
2.      Mengapa adat pernikahan penduduk Tionghoa merupakan bentuk cerminan dari ketahanan budaya bangsa ?

C.    Tujuan Penelitian
Penilitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang prosesi atau adat pernikahan orang Tionghoa, baik dengan sesama Tionghoa maupun campuran (Tionghoa dengan pribumi) terutama mereka yang menetap di Indonesia, karena hal tersebut salah satu bentuk keragaman dan budaya bangsa budaya bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan.
D.    Hipotesis Penelitian
Adat pernikahan etnis Tionghoa sebagai cerminan ketahanan budaya bangsa terjadi karena adanya keanekaragaman tersendiri yang dimiliki oleh suku tersebut yang jarang dimiliki oleh negara lain, namun keadaan tersebut mulai tergerus oleh budaya barat-universal.jadi perlu adanya semangat dari kita (warga Indonesia) untuk selalu merawat, melestarikan dan mengenalkan budaya kita agar leih terjaga keorientalannya.





 
E.     Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi dalam hal penelitian tentang salah satu kebudayaan masyarakat Tionghoa. Selain itu, penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan yang relevan, khususnya tentang adat pernikahan etnis Tionghoa sebagai cerminan ketahanan budaya bangsa, Khususnya bangsa Indonesia.




BAB II
LANDASAN TEORI
Menurut Geertz, 1973 (Sistem Sosial Budaya Indonesia: 2006: 146) kebudayaan merupakan perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep, yang digunakannya untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan tertentu.
Sedangkan konsep budaya yang paling awal berasal dari E.B. Tylor (Sistem Sosial Budaya Indonesia: 2006: 148) menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan suatu keseluruhan kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum adat istiadat dan kemampuan lainnya, serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakatnya.
Jika berbicara tentang kebudayaan, maka tidak  luput dari istilah etnisitas (kesukuan). Menurut Abner Cohen (Teori-Teori Sosial Budaya: 1994: 95) mengemukakan bahwa etnisitas (kesukubangsaan) adalah sebuah fenomena sosial yang terdapat baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Dan menurut Young (Teori-Teori Sosial Budaya: 1994: 95) menyatakan bahwa pada dasarnya ada beberapa atribut yang terkait ke dalam pengelompokan etnis antara lain bahasa daerah, wilayah (territory) tempat asal-usul permukiman, unit politik/ pemerintahan lokal atau nilai dan simbol budaya bersama. Identitas tersebut sangat relevan dengan tingkah laku (tingkah laku normatif) yang menunjukkan bentuk simbolik dan aktivitas yang didapati dalam konteks hubungan sosial seperti dalam kekerabatan, perkawinan, persahabatan, ritual, dan benuk seremonial lainnya atau hanya terbatas pada sektor-sektor tertentu dan akivitas manusia.





Nasikun (Pendidikan Kewarnegaraan: 2015: 131) mengemukakan bahwa struktur masyarakat di Indonesia ditandai oleh dua ciri-ciri yang bersifat unik. Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, sserta perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Menurut Bachtiar (Pendidikan Kewarnegaraan: 2015: 132) mengatakan bahwa setiap generasi masing-masing golongan kebudayaan peranakan Arab, Cina, Belanda, Spanyol, dan peranakan Portugis mengembangkan kebudayaannya sehingga menjadi kebudayaan tersendiri.
      Menurut Finger dan Kunneke kriteria kesuksesan pemerintah daerahdi era desentralisasi dapat diupayakan melalui kemampuan pemerintah daerah dalam policy entrepreneurship.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Rancangan Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, perlu adanya metode-metode penelitian yang akurat pula. Tanpa metode yang akurat, tujuan tidak akan tercapai dengan baik. Metode penelitian ini bermanfaat untuk menuntun peneliti dalam penelitian yang dilakukan. Data ini bersifat deskriptif yang berarti bahwa kebudayaan Tionghoa menjadi data  terpenting  dalam  penelitian  ini yang akan memaparkan adat pernikahan Tionghoa, Sehingga dapat dikatakan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena sesuai untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual  serta akurat  mengenai adat pernikahan etnis Tionghoa.
Peneliti menggunakan alat perekam handphone smartfand.. Hasil rekaman ini akan  dipindahkan ke dalam laptop dan kemudian  ditranskipkan  ke dalam  bentuk   tulisan untuk dianalisis. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang adat pernikahan etnis Tionghoa terutama yang bertempat di Indonesia. selain itu peneliti yang bertugas merencanakan, melaksanakan, menafsirkan, dan menyimpulkan data.

B.     Subjek Penelitian
Sumber data dari penelitian ini adalah salah satu keturunan asli dari Tiongkok yaitu ibu Suprihati (Oei Kim Hwat Nio) yang berdomisili di daerah Gang Mangkok, Pecinan, daerah sekitar Kelenteng Hoo Hok Bio dan mengamati proses pernikahannya secara langsung di kelenteng Gang Lombok.





C.    Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi. Observasi atau pengamatan langsung atas obyek penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang keberadaan obyek penelitian dan kegiatan yang  dilakukan. Melalui metode ini, peneliti dapat mengetahui secara langsung prosesi atau adat dari kebudayaan Tionghoa sendiri. Penelitian ini menggunakan metode observasi karena peneliti ingin mengamati secara langsung. Metode ini dilakukan dengan teknik rekam dan catat.

D.    Data dan Sumber Data Penelitian
Data penelitian ini berupa data kebahasaan lisan yang direkam (spoken teks). Data ini berbentuk wacana interaksional. Wujud data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah wujud non verbal atau data tulisan yang bersumber dari beberapa subjek yang terdapat di tempat observasi. Data-data tersebut diperoleh dari percakapan formal antara subjek penelitian dan penulis sendiri yang direkam dengan tape recorder dan dilengkapi dengan catatan lapangan.
E.     Prosedur Pengumpulan dan Perekam Data
Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber data menjawab pertanyaan yang diberikan oleh penulis dan melalui percakapan secara alamiah. Percakapan alamiah itu diharapkan memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah menjadi ciri khas penelitian ini. Dari dalam penelitian sederhana ini diperoleh melalui teknik perekaman, dan pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antara penulis dengan subyek penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian sederhana ini kecuali peneliti sendiri, juga digunakan alat pencatat yang digunakan setelah perekaman berlangsung.




F.     Analisis Data
Kegiatan analisis data dalam penelitian ini meliputi identifikasi data, penyajian data dan penarikan simpulan. Pada identifikasi data peneliti memberikan kode pada data yang sesuai. Tahap berikutnya penyajian data. Data yang disajikan dalam bentuk narasi selanjutnya akan dianalisis setelahnya dilakukan penarikan simpulan.
G.    Pemeriksaan Keabsahan Data
Pengujian keabsahan data ini dilakukan teknik kredibilitas. Langkah kridibilitas ini ditempuh hanya dengan langkah triangulasi. Menurut Burns bahwa "triangulation is away of arguing that if different methods of investigation produce the same result then the data are likely to be valid". Untuk itu dalam penelitian, triangulasi dilakukan dengan tiga cara, triangulasi data, situasional, dan metode pengumpulan data. Triangulasi data dilakukan dengan cara mengambil data dari berbagai suasana, waktu dan tempatnya yang diperoleh dari hasil wawancara dengan subyek dan sumber-sumber lainnya. Triangulasi situasional dilakukan dengan cara mengamati subjek yang sama dalam berbagai situasi, triangulasi ini penulis lakukan dengan melihat secra langssung prosesi adat pernikahan etnis Tionghoa yang berlangsung di kelenteng Gang Lombok pada tanggal 28 Mei 2016 pukul 08.00 sampai 09.30. Dan triangulasi metode pengumpulan data yaitu menggunakan beberapa alat atau instrumen agar data yang terkumpul lebih akurat. Hal ini ditempuh dengan menggunakan perekaman, pencatatan, dan pedornan wawancara. Melakukan peer debriefing, yaitu dilakukan dengan cara membicarakan dengan pakar dan ahlinya di bidang yang diteliti, baik segi metodologi maupun segi keilmuan pada masalah yang diteliti.







BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Keberadaan Etnis Tionghoa Di Indonesia
Indonesia merupakan negara multikultural yang di dalamnya terdapat berbagai macam kebudayaan di dalamnya yang mungkin jarang dimiliki oleh negara lainnya . salah satunya yang menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa atau dulu yang sering disebut Chinese Overseas atau Tionghoa perantauan di Asia Tenggara tersebar dimana-mana dan memainkan peranan yang penting, bukan saja di bidang ekonomi tetapi juga di bidang-bidang sosial, budaya dan politik (Negara dan Etnis Tionghoa: 2002: 7). Namun peran mereka di sepuluh negara ASEAN tidak semuanya sama. Keadaan mereka berbeda, ada yang telah berbaur, ada yang masih setengah berbaur dan mengalami banyak masalah. Hal tersebut salah satunya bergantung pada kebijakan-kebijakan pemerintah setempat yang diberikan pada mereka, kuantitas penduduk Tionghoa sendiri dalam negara tersebut, dan lain sebagainya.
Secara sosiologis dan kultural, Warga Negara Republik Indonesia keturunan Tionghoa          (Tionghoa peranakan) disebut sebagai kelompok yang masih mempunyai sistem nilai yang berasal dari kebudayaan Tionghoa atau Etnis Tionghoa (Masyarakat dan Kebudayaan: 1988: 188). Dikatakan sebuah etnis karena menunjuk kepada kesadaran suatu kelompok akan keturunan atau asal usul dan kebudayaan serta adat istiadat yang sama. Selain itu istilah etnis Tionghoa juga menunjukkan bahwa tidak tepat menamakan mereka orang Tionghoa atau Cina atau Hoakiao (Tionghoa perantauan). Karena mereka adalah warga negara Indonesia dan dari segi ras hampir semuanya bukan orang Tionghoa lagi, melainkan mereka adalah hasil pencampuran orang Tionghoa dan Indonesia.
Untuk keberadaan Tionghoa di Indonesia, pemerintah memiliki kebijakan tersendiri untuk mengatasinya (Negara dan Etnis Tionghoa: 2002: 15). Sejak awal Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi. Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan.. kemudian pada zaman demokrasi terpimpin, kebijakan asimilasi dan integrasi mulai dijalankan secara bertahap. Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolah Tionghoa, aktivitas Tionghoa asing pun  dibatasi. Namun kebijakan asimilasi ini mulai dijalankan secara sepenuhnya sejak lahirnya Orde Baru. Pada masa tersebut masyarakat Tionghoa banyak yang mengalami kesulitan pelayanan dan pemenuhan sarana dan prasarana  yang seharusnya mereka dapatkan dengan mudah dan sama seperti warga pribumi sendiri. Seperti yang dituturkan oleh subyek peneliti penulis yang mengatakan bahwa beliau pada masa itu mengalami kesulitan pelayanan pembuatan akte kelahiran untuk putrinya, kesulitan untuk memeroleh pasport ketika akan berkunjung ke negara asalnya di Tiongkok, dikarenakan beliau tidak mempunyai nama Indonesia,  tidak terdapatnya tanggal merah/ hari libur pada saat hari raya Imlek yang menimbulkan  kesenjangan sosial antara warga pribumi dengaan warga peranakan. Mereka beranggapan bahwa mereka lebih dulu menetap di Indonesia jauh sebelum agama lain masuk di Indonesia.
Dalam bidang budaya sendiri, pada masa tersebut kebudayaan Tionghoa berada dalam keadaan yang cukup miris. Selain tidak diberi izin untuk mengamalkan tradisi dan adat istadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun baru imlek dan cap gome, tidak diperbolehkan main barongsai, semua kelenteng harus diubah menajdi wihara, agama Konghucu tidak diakui, tidak diperbolehkan belajar bahasa Tionghoa yang termaktub dalam Instruksi Presiden RI No. 14/1967. Hal tersebut cukup membuat warga Tionghoa merasa terasingkan dan terisolir dengan sumbang asih yang telah mereka berikan untuk Indonesia.
Telah diketahui bahwasannya persentase penduduk Cina di Indonesia terbilang rendah,. Namun dalam kenyataannya dalam persepsi masyarakat luas orang etnis Tionghoa jauh lebih banyak dari fakta sebenarnya. Persepsi ini disebabkan oleh ciri-ciri khas adari golongan tersebut: secara fisik mereka berbeda dari masyarakat luas; mereka terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu dalam kota-kota besar; mereka terkonstrasi dalam bisnis; perdagangan; pertokoan; perbankan; mereka berbeda dalam adat istiadat dan kehidupan religius; mereka berbeda dalam keiasaan makan. Semua ini mengakibatkan mereka sangat “visible”, dan karen jumlahnya yang kecil, sangat “vulnerable” dan tidak berdaya (powerless), sehingga jika terjadi kerusuhan dan apapun asal mulanya, mereka selalu terkena tindakan destruktif.
Kemudian jika dilihat dari aspek sosial dan budaya, beberapa tuduhan telah dilontarkan pada kaum minoritas ini, salah satunya menyebut mereka sebagai golongan ekslusivisme. Dimana yang di maksud dengan istilah ini adalah persepsi masyarakat luas bahwa mereka hanya mau bergaul dengan kaumnya sendiri, dan ini disebabkan oleh perasaan superioritas mereka. Kelanjutan dari tuduhan ini adalah bahwa mereka tidak sudi jika anak perempuannya dipersunting oleh laki-laki pribumi. Menurut pemaran dari subyek penelitian penulis, beliau mengatakan bahwa pihak perempuan dari keturunan mereka diperbolehkan menikah dengan laki-laki pribumi asalakan laki-laki pribumi tersebut memiliki pangkat yang lebih tinggi dibandingkan pihak wanita dan pekerja keras. Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulakn kesengsaraan hidup selanjutnya bagi generasi penerusnya.
Hal lain yang dianggap ganjalan dalam hubungan anatara golongan etnis Tionghoa dengan masyarakat luas adalah masih adanya unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari “negeri leluhur”. Ada sementara pihak, termasuk di kalangan pendidikan, yang beranggapan bahwa unsur-unsur yang asing itu harus dihilangkan. Unsur-unsur kebudayaan atau sistem nilai suatu kelompok yang seharusnya harus di jaga dan pertahankan oleh segenap bangs Indonesia agar tidak terjadinya a-kultural.
Namun pasca Orde Baru, yakni masa pemerintahan Presiden Abdurrohman Wahid (Gus Dur) kedudukan Tionghoa di Indonesia sudah memperoleh kedudukan yang dapat dikatakan pada masa perbaikan dan kemajuan dengan dihapuskannya Instruksi Presiden tersebut. Menurut Gus Dur Indonesia terbagi menjadi tiga ras: ras melayu, ras Tionghoa, dan ras Austro-Melanesia. Dengan kata lain, keturunan Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan lagi. Meskipun jumlah mereka yang menjadi minoritas di Indonesia, namun tidak tidak dapat dipungkiri jika mereka yang memberi sumbang asih yang sama banyak terhadap bangsa Indonesia selain warga pribumi sendiri. Ketika mereka telah tinggal di Indonesia, mereka telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk Indonesia, turut memberi warna bangsa Indonesia dengan kebudayaan dan ciri khas yang mereka bawa dan turut serta membantu perekonomian bangsa Indonesia.
Indonesia terdiri dari berbagai suku-suku dan budaya yang tentunya memiliki perbedaaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya tentunya harus digunakan sebagai acuan untuk menuju ke perubahan yang lebih baik. Dengan menjaga kebudayaan yang terdapat di Indonesia dan melestarikannya tanpa menjadikannya sebagai sarana terbentuknya kesenjangan sosial di antara masyarakat sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Dahrendorf (sistem sosial budaya indonesia: 2006: 186) bahwa konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan, tetapi adalah lebih baik tidak menggunakan sarana, konflik sebagai media integrasi nasional, mengingat bahwa dalam masyarakat dan juga dalam suku bangsa atau golongan juga terdapat potensi untuk bersatu atau paling tidak untuk bekerja sama.
B.       Adat Pernikahan Etnis Tionghoa
Pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap sebagai sesuatu yang cukup syakral pelaksanaannya. Suatu proses yang menyimpan beberapa makna dalam proses pelaksanaannya. Salah satunya adalah untuk menciptakan generasi bangsa yang dapat melestarikan budaya yang telah dititipkan oleh leluhur kepada kita. Proses pernikahan suatu daerah atau suatu pemeluk agama memiliki ciri khas dan tradisi tersendiri yang menjadi pokok dasar dalam pelaksanaannya. Meski suatu tradisi pernikahan dari masa ke masa telah sedikit demi sedikit mengalami pergeseran mengikuti perkembangan zaman, namun tidak lantas semua tradisi yang ada dalam pernikahan terisolir oleh budaya-budaya baru yang masuk.
Setiap masyarakat atau suku pasti memiliki ciri khas tersendiri untuk menjaga keorientalan dari acara yang cukup syakral tersebut. Seperti halnya masyarakat jawa dengan budaya jawa yang dalam proses pernikahannya menggunakan kebaya, terdapat istilah-istilah tersendiri seperti ngunduh mantu, sungkeman, dan lain sebagainya. Meski budaya tersebut di era sekarang sudah mulai tergeser, namun tidak secara keseluruhan budaya tersebut dihilangkan. Karna hal tersebut dapat menunjukkan salah satu karakter bangsa Indonesia yang cukup beragam serta kaya akan suku dan budaya.
Jika berbicara tentang suku, maka kembali lagi ke bangsa Indonesia yang cukup memiliki banyak suku atau etnis. Salah satunya yaitu etnis Tionghoa sendiri. Masyarakat Tionghoa ini sangat dikenal sebagai salah satu masyarakat yang begitu kental akan tradisinya. Tradisi yang biasanya memiliki makna dibalik semuanya. Sama halnya dengan adat pernikahannya, mereka juga memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang tidak kalah menarik untuk menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa Indonesia pribumi. Di bawah ini akan di jelaskan oleh penulis adat dari proses pernikahan etnis Tionghoa, khususnya mereka yang menetap di Indonesia ( Cina peranakan/ totok).
1.      Prosesi Lamaran
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masyarakat Tionghoa dikenal sebagai salah satu masyarakat yang begitu kental akan tradisi. Tradisi yang biasanya memiliki makna dibaliknya itu hingga saat ini masih banyak dipertahankan calon pengantin baru meskipun tak menutup mata bila beberapa di antaranya tergerus oleh perkembangan zaman. Nah, salah satunya adalah tradisi pernikahan.
Sama seperti tradisi pernikahan adat lain, masyarakat Tionghoa di Indonesia (totok) memiliki tradisi pernikahan yang merupakan warisan dari para leluhur. Setiap tata caranya memiliki arti dan harapan masing- masing. Kalau berbicara mengenai tradisi pernikahan masyarakat Tionghoa totok, saat ini sudah banyak beberapa hal yang dimodifikasi dan tidak sesuai dengan aslinya. Ada beberapa faktor penyebab itu semua. Misalnya, Western Minded yang biasanya terjadi pada mereka yang bersekolah di luar negeri. Konsep simple yang tercipta acap kali membuat mereka menganggap bila tradisi tersebut terlalu berbelit- belit.
Dan atas nama menyesuaikan perkembangan zaman, tradisi pernikahan masyarakat Tionghoa pun kian dimodifikasi agar tetap bertahan dan terlestarikan. Nah, berikut ini beberapa poin penting dalam setiap proses pernikahan Tionghoa yang secara garis besar berlaku bagi masyarakat Tionghoa totok yang berada di beberapa berbagai wilayah nusantara. Salah satunya yaitu prosesi awal yaitu prosesi lamaran.
Prosesi lamaran ini merupakan pertemuan antar keluarga inti. Biasanya dalam hal ini membicarakan tentang rencana pernikahan secara garis besar. Prosesi lamaran ini dilakukan saat keduaa calon mempelai siap untuk berkomitmen melanjutkan hubungan ke jenjang rumah tangga ( hubungan yang lebih serius ).
Dalam proses lamaran ini calon keluarga mempelai laki-laki membawa bawaan seperti kue dan jeruk, pyangko, enting-enting dan permen, yang kesemuanya itu merupakan seserahan yang wajib di bawa saat lamaran. Dimana kue adalah lambing dari hubungan yang manis dengan harapan kedua keluarga memiliki hubungan manis selamanya, sedangkan jeruk adalah lambing dari kemakmuran. Proses ini dinamakan dengan Sangjit dan umunya dilakukan pada siang hari.

     Dalam proses Sangjit ini calon laki-laki mengenakan kemeja merah atau terkadang mengenakan cheongsam pria, dan untuk calon mempelai wanita mengenakan dress berwarna merah. Barang bawaan yang di bawa oleh pihak laki-laki ( dipimpin oleh pihak yang dituakan dan rombongan laki-laki yang terdiri dari wakil keluarga yang belum menikah) disambut oleh wakil keluarga wanita beserta para penerima seserahan ( terdiri dari orang yang sudah menikah) di depan pintu untuk menerima seserahan satu per satu secara berurutan, di mulai dari seserahan untuk kedua orang tua mempelai wanita lalu untuk mempelai wanita dan seterusnya. Kemudian barang seserahan tersebut yang sudah diterima oleh pihak mempelai wanita langsung dibawa ke kamar untuk diambil sebagian dan sebagiannya lagi dikembalikan kepada pihak laki-laki dengan berbagai alasan, pertama agar sama-sama merasakan dan berbagi. Kedua, apabila keluarga wanita mengambil seluruh barang yang ada, artinya mereka menyerahkan pengantin wanita sepenuhnya pada keluarga pria dan tidak ada hubungan lagi antara pengantin wanita dengan keluarganya. Namun apabila keluarga wanita mengembalikan separuh dari barang-barang tersebut ke pihak laki-laki artinya keluarga wanita bisa turut campur dalam keluarga pengantin. Sebagai balasannya keluarga wanita memberikan seserahan pada keluarga pria berupa manisan dan berbagai keperluan pria. Tida lupa pihak laki-laki juga memberikan angpao ( uang susu ) dan uang pesta yang di masukkan dalam amplop merah. Pihak wanita mengambil secara penuh uang susu sedangkan untuk uang pesta hanya diambil jumah belakang/ekornya saja dan sisanya dikembalikan.
Acara selanjutnya dilanjutkan dengan beramah tamah dan makan bersama yang telah disiapkan oleh pihak keluarga wanita. Biasanya pada saat ini juga dilakukan penentuan tanggal pernikahan, tanggal pernikahan ini dihitung dari berbagai factor yang salah satunya dilihat dari shio kedua calon pengantin. Akhir dari acara lamaran ini adalah dengan pemberian angpao oleh wakil keluarga wanita ke setiap pembawa seserahan, dengan maksud mendoakan agar para pembawa seserahan enteng jodoh ( dimudahkan jodohnya).



2.      Proses pernikahan
Ketika sudah melakukan proses lamaran, maka setelah itu berlanjut menuju proses atau acra yang di tunggu-tunggu. Proses pernikahan dari tiap suku memiliki cara yang sendiri-sendiri yang memiliki makna dan tujuan sendiri pula. Seperti halnya proses pernikahan oleh etnis minoritas di Indonesia ini, yakni masyarakat Tionghoa.
            Proses pernikahan antara sesama orang keturunan maupun percampuran antara orang totok dengan orang  pribumi memilik konsep yang sama, namun dengan perkembangan zaman proses pernikahan yang berlangsung sebagian besar sudah mengikuti adat pernikahan barat-universal seperti dalam mengenakan baju pengantin, saat ini semua tersebut bergantung dari induvidu masing-masing karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan perkembangan zaman menuntut orang untuk berfikir secara praktis dan simple.
Sebelum melakukan prosesi pernikahan yang biasanya di gelar di kelenteng, mempelai wanita basanya melakukan vegetarian selama 3 hari, atau satu minggu, atau tiga bulan untuk membersihkan dirinya. Kemudian saat pagi hai menjelang hari H, mempelai laki-laki diharuskan memakai baju putih, lalu disisir tiga kali oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu dilakukan sembahyang kepada leluhur untuk mengenang keluarga yang telah mendahului. Hidangan onde-onde pun siap disajikan setelah sembahyang, kegiatan ini melambangkan keseluruhan proses pernikahan dapat berjalan dengan lancar seperti bola yang menggelinding.
Dalam prosesi upacara pernikahan di kelenteng, kedua mempelai wajib menggunakan gaun berwarna merah namun setelah upacara bagi mereka yang ingin di arak boleh berganti gaun berwarna putih dan mepelai laki-laki menggunakan jas berwarna hitam. Ketika upacara berlangsung, beberapa seserahan yang wajib dibawa yaitu pisang mas, jeruk, wajik, mohu, buah-buahan, kue, permen, sepasang lilin (memiliki makna untuk menerangi kehidupan mempelai dalam kondisi yang sesulit apapun) dan beberapa hantaran pernikahan yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua mempelai.

Tradisi yang lain yaitu tradisi Tea Pea atau biasa yang disebut dengan penjamuan teh  kepada kedua orang tua mempelai dengan tujuan untuk menghormati orang tua dan kerabat yang sudah sepuh dari kedua mempelai. Pada saat menjamu kedua mempelai berlutut dan mempersilahkan kedua orang tua untuk minum tehnya. Teh tersebut dituang oleh mempelai laki-laki dan diberikan oleh mempelai perempuan dan agar orang tua mendoakan kedua mempelai.
Setelah melakukan upacara pernikahan di kelenteng, mempelai wanita mengenakan gaun berwarna putih dan waring (penutup muka) sedangkan untuk mempelai laki-laki menggunakan jas hitam. Kemudian pengantin laki-laki membuka waring dan memberikan bunga kepada mempelai wanita dan dilanjutkan dengan mempelai wanita menyematkan bucket bunga kecil di jas mempelai laki-laki.
Setelah prosesi pernikahan tersebut dilanjutkan dengan makan bersama (beramah tamah) dan acara yang terakhir yaitu honey moon, biasanya dilakukan selama tiga hari. Dan selama tiga hari tersebut kedua mempelai tidak diperbolehkan masuk rumah dengan alas an ketika mereka masuk rumah berarti mereka sudah siap untuk membuka rumah tangga yang baru.
C.      Pengaruh Etnis Tionghoa Di Indonesia Terhadap Budaya Bangsa
Keberadaan salah satu etnis minoritas ini memiliki sumbang asih yang terbilang tidak sedikit. Mereka yang telah menetap di Indonesia telah mengabdikan hidup dan matinya untuk Indonesia, membantu perkembangan baik dalam sosial, budaya hingga ekonomi bangsa Indonesia.
Seperti yang sudah dipaparkan atas, bahwasannya Indonesia memiliki beragam suku dan budaya yang kesemuanya tersebut dapat menjadi keistimewaan dan benteng tersendiri bagi bangsa Indonesia yang patut dijaga. Salah satunya adalah suku minoritas berkulit putih dan bermata sipit ini, yakni etnis Tionghoa.
Sebenarnyaa sejak awal Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi. Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan. Pada zaman demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara bertahap. Mula-mula waarga Indonesia yang berketurunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolah Tionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi mulai dijalankan secara total sejak lahirnya orde baru.
Dalam bidang budaya, pemerintah orde baru yang ingin mengikis habis kebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan adat istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun baru imlek dan cap gome seperti yang telah di jelaskan oleh penulis di atas.
Pribumi dilawankan dengan non pribumi (yaitu Tionghoa) dn bangsa Indonesia adalah pribumi. Etnis Tionghoa baru bissa diterima sebagai nation atau bangsa Indonesia  kalau berasimilasi secara total dengan pribumi. Akan tetapi semua kegiatan tidak bersifat asimilasi ( tepatnya absorpsi). Peraturan diskriminatif terus dijalankan sehingga minoritas Tionghoa merasa dirinya berbeda dengan kelompok pribumi. Penulis dalam hal ini mengambil contoh terdapatnya perbedaan pada nomor kartu tanda penduduk (KTP) etnis Tionghoa.jumlah orang Tionghoa yang masuk ke universitas dibatasi, dan perbedaan pribumi dan nonpribumi dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang diamalkan.aktiviatas orang Tionghoa di bidang ini makin kentara dan pemisahan dengan pribumi pun makin mencolok.
Seperti yang telah diketahui bahwa tuduhan-tuduhan miring yang ering dilontarkan masyarakat luas adalah golongan Tionghoa merupakan ekslusivisme. Yang dimaksud disini adalah persepsi masyarakat luas bahwa mereka hanya mau bergaul dengan kaumnya sendiri, dan ini disebabkan oleh perasaan superioritas mereeka. Kelanjutan dari tuduhan ini adalah bahwa mereka tidak sudi anak prempuannya dipersunting laki-laki pribumi.
Menurut penulis, perasaan superioritas itu memang ada, terutama pada golongan tua. Hal ini merupakan sisa warisan zaman kolonial yang dperkuat dengan keterbatasan kemungkinan pergaulan pada taraf yang sama pada waktu itu. Sejak kemerdekaan kemungkinan pergaulan telah terbuka dengan bertambahnya kesempatan untuk melakukan hal-hal bersama, seperti sekolah bersama, berolahraga bersama, daan berkesian bersama. Kebersamaan atau sharing inilah yang dapat memupuk perasaan memiliki dan dimiliki atau sense of belonging. Hal ini sudah terlhat pada angkatan muda, masalah perkawinan campuran yang terjadi  dengan wajar antara laki-laki “non-pri” dan wanita “pri” dan sebaliknya yang makin bertambah.
Hal ini dianggap sebagai ganjalan dalam hubungan antara golongan etniss Tionghoa dengan masyarakat luas adalah masih adanya unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari “negeri leluhur”. Dalam hal ini penulis berargumen bahwa kita harus hati-hati dengan pemikiran untuk meniadakan unsur-unsur kebudayaan atau sistem nilai suatu kelompok agar tidak terjadi keadaan a-kultural atau hilangnya unsur yang sebenarnya harus dipertahhankan. Jadi kita perlu mengenal sistem nilai golongan etnis Tionghoa, apa yang masih hidup yang diwariskan oleh generasi tau, dan apa yang hilang dengan sendirinya.


BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keberadaan etnis Tionghoa di Indoneesia atau dulu yang sering disebut Chinese Overseas atau Tionghoa perantauan di Asia Tenggara tersebar dimana-mana dan memainkan peranan yang penting, bukan saja di bidang ekonomi tetapi juga di bidang-bidang sosial, budaya dan politik (Negara dan Etnis Tionghoa: 2002: 7). Sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun etnis in merupakan etnis yang menjadi minoritas, namun saat ini sudaah tersebar di seluruh belahan bumi Indonesia.
Selain memiliki beraagam kebudayaan yang tidak bisa disebutkan secara lengkap dalam penelitian ini, namun terdapat satu kebudayaan Tionghoa yang kali ini menjadi sorotan penulis, yakni masalah adat pernikahan etnis Tionghoa. Khususnya mereka yang sudah menetap di Indonesia.
Pernikahan etnis Tionghoa mulai dari prosesi lamaran, upacara pernikahan sampai acara terakhir yaitu bulan madu (honey moon)  memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh etnis-etnis lain di Indonesia. Mulai dari segi makna, istilah sampai proses kegiatannya yang berlangsung.
Keberadaan orang Tionghoa di Indonesia memilikinsumbang asih yang tidak sedikit, mulai dari bidang ekonomi, sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Dan dalam bidang sosial dan budaya sendiri, sekarang mereka telah dapat berbaur dengan masyarakat pribumi, sehingga sedikit demi sedikit ddapat melunturkan tuduhan-tuduhan miring yang sebelumnya telah di lontarkan pada mereka.




B.      Saran
Setelah melakukan penelitian tentang adat pernikahan etnis Tionghoa dan menyususn penelitian ini penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dapat menambah referensi dalam bidang tertentu dan semoga dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam menyusun suatu karya yang lain yang sebidang dengan penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1988. Masyarakat dan Kebudayaan:Penelitian Antropolgi terhadap Masalah Masyarakat Multietnik dan Kesatuan Nasional. Jakarta: Djambatan
Pelly, Usman, Asih Minanti. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia
Sunarto, Dkk. 2015. Pendidikan Kewarnegaraan Di Perguruan Tinggi. Semarang: Unnes Press
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Tan, G Mely. 1988. Masyarakat dan Kebudayaan: Golongan Etnis Tionghoa dalam Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Paramita, mahditia. Atyanto dharoko dkk. 2014. Jurnl ilmiah sosial dan humaniora Kawistara. Yogyakarta: universitas gadjah mada.


LAMPIRAN-LAMPIRAN

                                           

0 komentar:

Posting Komentar